![]() |
doc. google |
“Kini di hari ini, di kedalaman belantara jagat digital dan sosial media,
kepada siapa kita mesti berguru ilmu agama Islam?”
Buku
ini mengajak kita untuk bertafakkur dan menengok kembali ilmu agama yang
tertancap dalam hati kita, menjadikan rendah hati dan menahan untuk tidak
mencela seorang yang tidak sesuai dengan perspektif kita. Ketahuilah, bahwa
berbeda itu wajar apalagi di negara Indonesia yang multikultural dari sabang
sampai merauke.
Ramainya
social media, dan melimpahnya informasi tentang agama yang tersebar di
instagram, facebook, website membuat banyak sekali orang yang belajar dan
mengambil sumber dari internet tanpa pikir Panjang. Istilah tergusurnya para ahli juga menjadi subbab yang
dibahas dalam buku ini, melihat maraknya Google menjadi banyak patokan untuk
mencari ilmu. “Pertanyannya ialah link-link macam apakah yang anda konsumsi?
Benarkah itu link-link dari para ahli yang otoratif di bidangnya? Ataulah itu
hanya link yang kebetulan bertengger di halaman pertama mesin pencarian, entah
karena viral ataupun membayar sponsor kepada Google” hal 55.
Naasnya sumber tersebut
dijadikan patokan untuk menyalahkan banyak orang yang tidak sama pemikirannya.
Atau tidak sesuai sunnah dan al-Qur’an
Mari
kita tengok, Edi
dalam buku ini menjelaskan dengan detail bagaimana suatu ayat turun beserta
asbabun nuzulnya. Sebuah ayat alquran tidak bisa dibaca dan langsung ditafsirkan sesuai pemikiran awam
seperti kita yang masih cetek ilmu agamanya. Maka ilmu asbabun nuzul
juga perlu diperhatikan dan diperdalam
sehingga tidak terjadi perdebatan
yang seharusnya tidak terjadi.
Misalnya
dalam buku ini, Edi
memberi contoh salah satu kasus tentang jilbab beserta ayatnya. “gara- gara
arus hijrah yang tampak keren,
anda kini demen pakai jilbab lebar. Ihwal jilbab lebarnya saja, ia sahih saja,
apik. Tapi akan menjadi tidak elok lagi ketika anda mulai menyalah-nyalahkan
gaya berjilbab ibu-ibu kampung
dengan menyatakannya tidak sesuai tuntunan sunnah Rasulullah saw”
Buku ini punya kelebihan, yaitu terkait opini-opini Edi
yang seharusnya menjadi pengingat diri agar kita tawaddhu’, bahwa sejatinya
kita rawan sekadar berada di posisi pertama: membaca al-Qur’an di tenggorokan
saja.
“Seyogyanya makin berumur
makin menanjaklah kita ke jenjang kedua: memikirkan dan merenungkan kandungan
al-Qur’an.
Ranahnya adalah rasa menep, njeru, dan buahnya adalah bijaksana. insyaAllah bila sampai ke
derajat ini, ekspresi keislaman kita akan sejuk, tenang dan mengayomi, sesuai
dengan khittah Islam
yang rahmatan lil alamin” hal 123
Paparan
Edi dalam buku tersebut, menggambarkan betapa seharusnya kita intropeksi diri,
dari
pada sekedar mengurus urusan ibadah orang lain. Menasehati boleh saja tapi ada adab-adabnya., jangan
sampai menasehati berakhir menghina.
Judul
buku: Tuhan Itu Maha Santai, Maka Selowlah
Penulis:
Edi Ah Iyubenu
Penerbit:
DIVA Press
Cetakan
: Pertama, September
2019
Tebal:
180 halaman
ISBN: 978-602-391-789-1
Komentar
Posting Komentar